Kepemimpinan Otentik (Authentic Leadership)
Latar Belakang
Manusia sesuai dengan kodratnya
dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Bahkan sejak Adam diciptakan sebagai manusia
pertama dan diturunkan ke bumi, ia diberi tugas sebagai khalifah fil ardhi
sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Pemimpin adalah hal yang sering kita dengar, segala sesuatu di dunia ini pasti
memerlukan
pemimpin
baik golongan manusia, hewan, dan
lain-lain. Selain
itu, pemimpin
merupakan hal yang sangat vital dalam kehidupan kita, coba anda bayangkan jika kita tidak memiliki pemimpin. Contoh kecil saja yaitu pemimpin dalam kelas
atau suatu forum maka segala program yang ada tidak akan pernah bisa berjalan
dengan baik karena tidak ada yang mengendalikan, mendorong, serta menggerakkan untuk bersama-sama melaksanakan program tersebut.
Dalam kehidupan organisasi, gaya kepemimpinan seorang
pemimpin adalah hal yang penting diperhatikan. Kepemimpinan dalam sebuah
organisasi dituntut untuk bisa membuat individu – individu dalam organisasi
yang dipimpinnya bisa berperilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh pemimpin
untuk mencapai tujuan organisasi. Maka dari itu, seorang pemimpin harus bisa memahami perilaku anggotanya dalam organisasi yang dipimpin untuk bisa menemukan gaya kepemimpinan
yang tepat bagi organisasinya.
Upaya membangun keefektifan pemimpin terletak semata
pada pembekalan dimensi keterampilan teknis dan keterampilan konseptual. Adapun keterampilan personal menjadi terpinggirkan, padahal sejatinya efektifitas kegiatan manajerial dan pengaruhnya pada
kinerja organisasi
sangat bergantung pada kepekaan pimpinan untuk menggunakan keterampilan
personalnya. Keterampilan personal tersebut meliputi kemampuan untuk memahami
perilaku individu dan perilaku kelompok dalam kontribusinya membentuk dinamika
organisasi, kemampuan melakukan modifikasi perilaku, kemampuan memahami dan
memberi motivasi, kemampuan memahami proses persepsi dan pembentukan komunikasi
yang efektif, kemampuan memahami relasi antar konsep
kepemimpinan-kekuasaan-politik dalam organisasi, kemampuan memahami genealogi
konflik dan negosiasinya, serta kemampuan mengkonstruksikan budaya organisasi
yang ideal.
Kreativitas penting bagi pengambil keputusan, hal ini
memungkinkan pengambil keputusan untuk lebih menghargai dan memahami masalah, termasuk
melihat masalah yang tidak dapat dilihat orang lain. Meskipun
begitu, pada kenyataannya banyak pemimpin yang dalam mengambi; keputusan tidak memperhatikan perilaku pemimpin yang baik. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan agar kepemimpinan dapat berperan dengan baik,
antara lain:
(1)
ektivitas kepemimpinan bukan pengangkatan atau penunjukannya, melainkan
penerimaan orang lain terhadap kepemimpinan yang bersangkutan, (2) efektivitas kepemimpinan tercermin dari kemampuannya untuk tumbuh dan
berkembang, (3) efektivitas kepemimpinan menuntut kemahiran untuk “membaca” situasi, (4) perilaku seseorang tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui
pertumbuhan dan perkembangan, dan (5) kehidupan organisasi yang dinamis dan serasi dapat tercipta bila setiap
anggota mau menyesuaikan cara berfikir dan bertindaknya untuk mencapai tujuan
organisasi.
Disisi lain, kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari
kepengikutan (followership) karena kepemimpinan menjadi tidak berarti
jika tanpa adanya peran serta pengikut. Tingginya rasa kepengikutan akan
terpengaruh pada sejauh mana pemimpin menjadi seorang pemimpin, dan melibatkan
semua personel dalam menjalankan program maupun keterlibatan dalam menyusun
program akan berpengaruh terhadap keikutsertaan personel pada setiap program.
Namun perlu dipahami bahwasanya walaupun semua pemimpin memiliki tujuan dasar
yang sama, mereka tetaplah individu yang berbeda. Maka tidak aneh jika setiap
pemimpin memiliki cara yang berbeda. Inilah yang sering kita kenal dengan
kepemimpinan.
Kepemimpinan otentik memperoleh momentum banyak
dikaji para peneliti sejak awal tahun 2000-an, meskipun ide dan penelitian
tentang pemimpin yang otentik telah dilakukan sejak beberapa dekade sebelumnya,
misalnya oleh Seeman (1966), lalu Henderson & Hoy (1983). Kajian tersebut intensif dilakukan di Amerika
Serikat, sebagai pengembangan dari kajian mengenai kepemimpinan
transformasional (transformational
leadership), kharismatik (charismatic
leadership), pelayanan (servant
leadership), serta kepemimpinan spiritual (spiritual leadership) (Avolio & Gardner, 2005). Pasca peristiwa
11 September 2001, yang diikuti dengan
krisis, dan sejumlah permasalahan moral lainnya dalam organisasi industri
seperti WorldCom, Arthur Anderson, dan
Enron, para akademisi dan praktisi merasa perlu menyusun kajian mengenai
pemimpin yang memiliki integritas dan standar moral yang tinggi, memimpin
dengan mengikuti kebenaran dan nurani,
serta menunjukkan relasi yang positif dengan para pengikutnya (Wherry, 2012).
Konsep
kepemimpinan otentik pada awalnya dikaji dalam bidang Sosiologi dan Pendidikan.
Seeman (1966), seorang sosiolog meneliti konsep tentang inauthenticity, yang dipandang sebagai plastisitas yang berlebihan
dari pemimpin yang berusaha memenuhi tuntutan yang dirasakan timbul dari
perannya. Henderson dan Hoy (1983) kemudian mengkaji kembali konsep tersebut
dalam konteks kepemimpinan di bidang pendidikan, dan merevisi skala Seeman
melalui penambahan item baru. Berbeda dengan fokus awal pada inauthenticity, kepemimpinan autentik
lebih mencerminkan akar konseptual dari psikologi positif dan menekankan
pengembangan karakteristik kepemimpinan yang lebih positif (Luthans & Avolio, 2003).
Pada tahun 2004 Gallup
Leadership Institute, Universitas Nebraska – Lincoln menyelenggarakan
konferensi tentang Pengembangan Kepemimpinan Otentik (Authentic Leadership Development) di Omaha, Nebraska. Konferensi ini mempromosikan dialog antara
para akademisi dan praktisi dari berbagai domain organisasi bisnis, politik,
pendidikan, dan militer untuk menstimulasi wawasan dan teori dasar tentang
kajian pengembangan kepemimpinan dan kepengikutan otentik (authentic leadership and followership). Lebih dari 80 artikel
dipresentasikan pada konferensi ini dan dievaluasi menggunakan standar Leadership Quarterly (Avolio & Gardner, 2005). Meningkatnya
kesadaran diri, pengaturan diri, dan keteladanan pemimpin yang otentik dianggap
dapat mendorong pengembangan otentisitas para pengikutnya. Pada gilirannya,
pengikut yang otentik diyakini memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan dan
peningkatan kinerja (Avolio & Gardner, 2005; Ilies, Morgeson, &
Nahrgang, 2005).
Berdasarkan
hasil kajian para peneliti sejak tahun 2006 sampai dengan 2015, kepemimpinan
otentik diketahui memberikan pengaruh positif terhadap kinerja organisasi.
Pengaruh positif kepemimpinan otentik juga diketahui dalam meningkatkan
perilaku positif, serta menurunkan
perilaku negatif pemimpin dan pengikut sebagai individu maupun kelompok dalam
organisasi. Kepemimpinan otentik dapat meningkatkan perilaku positif dalam
organisasi, karena terbukti berpengaruh positif terhadap kepuasan dalam bekerja/job satisfaction & satisfaction with
supervisor (Jensen & Luthans,
2006; Walumbwa dkk, 2008;
Giallonardo dkk, 2010; Peus dkk, 2012;
Azanza dkk, 2013; Wong & Laschinger,
2013; Černe dkk, 2014; Parr & Hunter, 2014), perilaku kewargaan atau organizational
& group citizenship behavior (Walumbwa dkk, 2008; Walumbwa dkk, 2010; Walumbwa dkk, 2011; Valsania dkk, 2012; Cottrill dkk, 2014;
Shapira-Lishchinsky & Tsemach, 2014), keterikatan kerja/work & employee engagement (Walumbwa
dkk, 2010; Wong dkk, 2010;
Bamford dkk, 2013; Seco & Lopes,
2013; Wang & Hsieh, 2013; Parr & Hunter, 2014), komitmen/affective & organizational
commitment/commitment to supervisor/ followers loyalty (Leroy dkk, 2012; Emuwa, 2013; Monzani dkk,
2014; Guerrero dkk, 2015; Kiersch & Byrne, 2015; ), kinerja / job, follower, & group performance (Walumbwa
dkk, 2008; Clappp-Smith dkk,
2009; Wong & Cummings, 2009; Walumbwa
dkk, 2011; Wong & Laschinger, 2013; Wang dkk, 2014; Xiong & Fang,
2014); serta kebahagiaan/ work
happiness & psychological wellbeing (Jensen & Luthans, 2006; Toor & Ofori, 2009; Cassar & Buttigieg, 2013). Kepemimpinan otentik juga dapat dimaknai
menurunkan perilaku negatif dalam organisasi, karena berpengaruh negatif
terhadap burn out (Wong &
Cummings, 2009), employee stress (Kiersch & Byrne, 2015), emotional exhaustion (Laschinger dkk, 2013), cynicism (Laschinger, dkk 2013),
organizational deviance (Erkutlu
& Chafra, 2013), absence frequency (Shapira-Lishchinsky & Tsemach, 2014), dan turnover intentions (Parr & Hunter, 2014).
Menurut pandangan Barat, pendekatan
kepemimpinan autentik relatif baru (Gardner Avolio,
Luthans, May, & Walumbwa, 2005). Hal ini disampaikan oleh George, mantan CEO dari sebuah perusahaan yang
berbasis di A.S., yang menekankan pada permintaan para pemimpin otentik.
Menurutnya, kami membutuhkan orang-orang dengan integritas tertinggi yang
berkomitmen untuk membangun organisasi, dan para pemimpin yang dapat mengambil
tanggung jawab organisasi sebagai tujuan dan setia pada nilai-nilai mereka. George menyebut kepribadian seperti itu sebagai pemimpin otentik. Lebih lanjut,
ia menyarankan bahwa dewan perusahaan harus memilih pemimpin otentik
berdasarkan karakter (Klenke, 2007). Teori kepemimpinan otentik, dengan
demikian, menekankan pada keaslian sebagai sifat penting dari seorang pemimpin
yang membantu seorang pemimpin untuk menjadi otentik melalui "kesadaran
diri, penerimaan diri, pengetahuan diri, iman, tindakan dan hubungan, promosi
hubungan otentik dengan pengikut dan rekanan mereka, didukung oleh
transparansi, kepercayaan, integritas, dan standar moral yang tinggi (Besen, Tecchio, &
Fialho, 2015).
Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa
setiap pemimpin memiliki gaya atau jenis kepemimpinan yang berbeda. Jika
ada seribu pemimpin maka akan ada pula seribu gaya kepemimpinan yang juga ikut
terbentuk. Diantara jenis kepemimpinan itu adalah kepemimpinan Autentik. Gaya
kepemimpinan Autentik itu akan dibahas dieksplorasi dalam makalah ini.
Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan fokus masalah, makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui definisi kepemimpinan autentik
2. Mendeskripsikan karakter pemimpin autentik
3. Mendeskripsikan efektivitas kepemimpinan autentik
Kepemimpinan adalah sebuah proses dimana seorang
individu mempengaruhi sekelompok indiivdu untuk mencapai tujuan bersama
(Northouse dalam Bishop, 2013). Vroom dan Jago (dalam Chatman & Kennedy, 2010)
menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah proses memotivasi sekelompok orang untuk
berkolaborasi bersama untuk mencapai sesuatu yang hebat.
Istilah kepemimpinan otentik terdiri dari dua kata,
yaitu kepemimpinan dan otentik. Kepemimpinan dalam bahasa Inggris disebut
dengan leadership, memiliki
makna kemampuan dan proses mempengaruhi
orang lain untuk mencapai tujuan tertentu (Yukl, 2015). Istilah otentik (authenticity) berasal dari pepatah Yunani,
yaitu γνῶθι σεαυτόν / gnōthi seauton
/ know thyself, yang memiliki makna kenali dirimu sendiri, tertulis
dalam salah satu prasasti Candi Apollo, di Delphi. Selain itu juga
terdapat istilah Yunani yang lain, yaitu “Authento” (to have full power), yang
memiliki makna otentik (Gardner,
Cogliser, Davis, & Dickens, 2011). Berdasarkan kajian ilmiah, authenticity
didefinisikan sebagai kemampuan dan proses mental individu untuk
menemukan dirinya yang sejati, dan berperilaku selaras dengan kesejatiannya itu
dalam berbagai situasi kehidupan. (Heppner, Kernis, Nezlek, Foster, Lakey,
& Goldman, 2008; Kifer, Heller, Perunovic, & Galinsky, 2013; Impett,
Javam, Le, Asyabi-eshghi, & Kogan, 2013; Le & Impett, 2013; Lenton,
Slabu, Sedikides, & Power, 2013; Klipfel 2014).
Pemimpin
autentik menurut George (2003) adalah tetap setia pada nilai-nilai dan keyakinannya
yang memandu pemimpin itu untuk mengambil keputusan dan bertindak memenuhi
nilai-nilai etis dan moral. Kepemimpinan autentuk memiliki daya tahan dalam
mengatasi berbagai masalah, memiliki konsep perilaku positif organisasi,
memiliki harga diri yang optimal, memiliki ketulusan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mengartikan autentik antara lain: (1) dapat dipercaya, (2) asli atau tulen, dan (3) sah. Sedangkan menurut Veitzhal dkk (2013) kepemimpinan bisa diartikan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang
untuk mencapai tujuan tertentu dan situasi tertentu. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka kepemimpinan autentik secara bahasa bisa
diartikan sebagai kemampuan seseorang yang tidak dibuat-buat/asli untuk
mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan
tertentu dan situasi tertentu.
Kepemimpinan
otentik dalam organisasi merupakan kemampuan dan proses yang menekankan pada
kapasitas psikologis yang positif dalam konteks organisasi yang maju,
menghasilkan kesadaran diri, pengembangan diri, dan perilaku positif yang lebih
besar pada pemimpin dan pengikutnya (Luthans dan
Avolio, 2003). Avolio, Luthans, &
Walumbwa (2004) mendefinisikan pemimpin otentik sebagai pemimpin yang sangat
sadar terhadap dirinya (deeply aware)
dalam berpikir dan bertindak, serta
dipersepsi orang lain sebagai orang yang sadar terhadap nilai-nilai
moral dirinya dan orang lain; berwawasan luas dan memiliki kekuatan; sadar
konteks di mana sedang berada; merasa yakin, memiliki harapan, optimisme,
ketangguhan, dan karakter moral yang tinggi.
Ilies
dkk. (2005) menambahkan bahwa pemimpin otentik sangat menyadari nilai hidup dan
keyakinannya, percaya diri, asli (genuine),
dapat diandalkan dan dipercaya, fokus
pada pengembangan kekuatan para pengikutnya, memperluas pemikiran pengikutnya,
dan menciptakan suasana organisasi yang positif dan menyenangkan.
Secara bahasa, kepemimpinan autentik tampak mudah
didefinisikan. Sebenarnya, ini adalah proses kompleks yang sulit untuk
digambarkan. Di kalangan pakar kepemimpinan, tidak ada satu definisi yang
diterima tentang kepemimpinan autentik. Terdapat berbagai pendapat lain, masing-masing dari sudut pandang yang berbeda dan dengan
penekanan yang berbeda. Beberapa prespektif kepemimpinan autentik (dalam Peter,
2013) itu antara lain:
1.
Shamir & Eilam tentang kepemimpinan autentik
menurut pendekatan antar pribadi, dinyatakan bahwa pemimpin yang autentik
adalah menampilkan kepemimpinan yang asli, memimpin dengan autentisitas hati,
dan asli, bukan palsu. Perspektif ini menekankan pengalaman hidup pemimpin dan makna
yang dikaitkan dengan pengalaman tersebut, sebagai hal penting untuk
pengembangan pemimpin yang autentik.
2.
Eagly, tentang kepemimpinan autentik menurut proses
antar pribadi. Perspektif ini mendeskripsikan kepemimpinan autentik sebagai
sesuatu yang bersifat antar pribadi, diciptakan oleh pemimpin dan pengikut
secara bersama. Hal itu tidak dari upaya pemimpin sendiri, tetapi juga respons
dari pengikut. Autentisitas muncul dari interaksi antara pemimpin dan pengikut.
Hal itu adalah proses timbal balik karena pemimpin mempengaruhi pengikut dan
pengikut mempengaruhi pemimpin.
3.
Avolio dkk, tentang kepemimpinan autentik menurut
perspektif perkembangan. Perspektif ini melihat kepemimpinan autentik sebagai
sesuatu yang bisa didorong dalam diri pemimpin, bukan seperti sifat yang pasti.
Kepemimpinan autentik berkembang di dalam diri manusia selama hidupnya dan bisa
dipicu oleh peristiwa besar dalam hidupnya.
4.
Walumba dkk, dengan menggunakan pendekatan
perkembangan membuat konsep kepemimpinan autentik sebagai pola perilaku
pemimpin yang berkembang dari dan didasarkan pada karakter psikologis positif
pemimpin serta etika yang kuat. Mereka menyatakan kepemimpinan autentik terdiri
dari 4 komponen yang berbeda tetapi terkait: pemahaman diri, prespektif moral
yang digunakan, pengolahan yang seimbang, serta transparansi hubungan. Selama
hidupnya pemimpin autentik belajar dan mengembangkan empat jenis perilaku ini.
Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Kepemimpinan Autentik
Ilies, dkk (2005) juga melakukan kajian teoritis dan menyusun
proposisi bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepemimpinan
otentik, antara lain :
a.
Konsep diri
yang positif (positive self concept)
dan kecerdasan emosi (emotional
intelligence).
Pemimpin yang memiliki konsep diri yang positif dan kecerdasan emosi yang tinggi akan memiliki
kesadaran diri yang lebih baik. Pemimpin yang lebih sadar diri akan memiliki
penerimaan diri yang lebih baik, otonomi yang lebih tinggi, relasi yang lebih
positif dengan orang lain, dan lebih berbahagia.
b.
Integritas (integrity) dan orientasi pembelajaran (learning goal orientation).
Pemimpin dengan integritas tinggi dan lebih berorientasi belajar,
akan menunjukkan pemrosesan informasi yang lebih seimbang dan tidak bias.
Pemimpin yang melakukan pemrosesan tidak bias akan lebih akurat dalam
menginterpretasikan tugas yang diemban, lebih baik dalam memperkirakan
kemampuannya mengatasi masalah, dan menemukan situasi yang memungkinkan lebih
banyak tantangan untuk belajar.
c.
Harga diri (self esteem) dan evaluasi diri (self monitoring).
Pemimpin yang tidak mudah terpengaruh oleh komentar-komentar orang
lain akan lebih mudah menunjukkan perilaku yang lebih otentik.
d.
Interaksi
positif masa sebelumnya (past positive
relationships) dan perilaku positif masa sebelumnya (past positive behavior).
Pemimpin yang lebih banyak memiliki relasi positif dan berperilaku
positif pada masa kanak-kanak dan remaja, akan lebih mudah berperilaku otentik.
Karakter
Pemimpin Autentik
Menurut Bill George (dalam Peter, 2013), pemimpin yang
autentik menunjukkan 5 karakter utama, yakn:
1. Tujuan (purpose)
Pemimpin yang autentik memiliki pemahaman akan tujuan.
Mereka mengetahui siapakah diri mereka dan arah yang mereka tuju. Selain
mengetahui tujuannya, pemimpin yang autentik diinspirasi dan secara intrinsik
dimotivasi oleh tujuan mereka. Mereka adalah individu yang antusias dan
memiliki minat mendalam terhadap apa yang mereka lakukan dan benar-benar peduli
dengan pekerjaan mereka.
2. Nilai (values)
Pemimpin yang autentik memahami nilai diri mereka dan
berperilaku terhadap orang lain berdasarkan pada nilai ini. Pemimpin yang
autentik mengetahui “arah yang mereka tuju”. Mereka memiliki ide yang jelas
tentang siapa mereka, kemana mereka akan melangkah, dan hal benar apa yang
harus dilakukan. Ketika diuji dalam situasi yang sulit, maka pemimpin yang
autentik tidak melanggar nilai mereka, tetapi menggunakan situasi tersbut untuk
memperkuat nilai mereka.
3. Hubungan (relationship)
Pemimpin yang autentik memiliki kemampuan untuk
membuka dirinya dan membuat hubungan yang kuat dengan orang lain. Mereka
bersedia untuk berbagi cerita dengan orang lain dan mendengarkan cerita orang
lain. Lewat tindakan yang saling membuka diri ini, pemimpin dan pengikut
mengembangkan rasa percaya dan kedekatan.
4. Disiplin Diri (self-discipline)
Disiplin diri memberikan konsentrasi dan kekuatan
tekad. Ketika pemimpin menetapkan tujuan dan standar yang harus dicapai, maka
disiplin diri membantu untuk mencapai tujuan ini dan membuat semua orang
bertanggung
jawab. Disiplin diri juga memberikan pemimpin energi untuk melakukan
pekerjaan dalam kesesuaian dengan nilai permimpinnya.
5. Hati (heart)
Simpati dan hati sebagai aspek penting dalam
kepemimpinan autentik. Simpati merujuk pada sikap peka terhadap kesulitan yang
dialami orang lain, membuka diri terhadap orang lain dan bersedia untuk
membantu mereka.
Tolak ukur Kepemimpinan Otentik
Alat ukur Kepemimpinan Otentik terdiri dari empat komponen sebagai berikut
(Avolio, Gardner & Walumbawa, 2007; Riggio, 2014):
1.
Self-Awareness
Sejauh mana pemimpin
menyadari kekuatan-kekuatan, keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya dan
bagaimana pemimpin bisa mempengaruhi orang lain.
2.
Transparansi
Sejauh mana pemimpin
mendorong keterbukaan terhadap orang lain dengan memberikan kesempatan pada
mereka untuk memunculkan ide-ide, tantangan dan opini. Pemimpin jujur dan tidak
memiliki agenda tersembunyi, terus terang ketika berhadapan dengan orang lain.
3.
Moral,
Sejauh mana pemimpin
membuat standar yang tinggi untuk pelaksanaan moral dan etika. Pemimpin otentik
memiliki etika, memahami
hal benar apa yang harus dilakukan dan perduli akan etika dan keadilan.
4.
Balanced Processing
Sejauh mana pemimpin
meminta pendapat dan sudut pandang yang cukup sebelum membuat keputusan penting.
Pemimpin otentik yang efektif akan mempertimbangkan semua pilihan dan
pandangan-pandangan kontra sebelum melakukan serangkaian tindakan.
Perencanaan-perencanaan baik-baik dipikirkan dan didiskusikan dengan terbuka.
Komponen kepemimpinan autentik menurut Luthas (2003)
adalah percaya diri, penuh harapan, optimis, ulet, transparan, moral etis,
berorientasi masa depan, menambah rekan kerja. Komponen kepemimpinan autentik
terdiri dari :
1.
Self awareness
Pemimpin
menyadari potensi dirinya dan percaya, memiliki stavilitas emosi, motif,
kompleksitas, kemampuan, dan konflik batin.
2.
Unbiased or
balanced processing, yaitu fokus pada keyakinan sendiri, tidak
dibebani harapan orang lain atau keinginan untuk menyenangkan orang lain,
keputusan dan perilaku dipandu nilai-nilai pribadi.
3.
Behaviors are
true to self and motivated by personal convictions, yaitu kemampuan
untuk mengungkapkan dan berbagi informasi tentang diri sendiri secara tepat dan
terbuka untuk berhubungan dengan orang lain, mencapai keterbukaan dan keyakinan
yang penuh dalam hubungan dekat.
Seorang pemimpin otentik memiliki nilai-nilai,
prinsip, moral yang ia milliki sebagai dirinya sendiri, bukan imitasi atau
meniru orang lain. Mereka akan mendemonstrasikan nilai-nilai, prinsip,moral dan
etika ke dalam perilaku kepemimpinannya. Menurut Kruse (2013) dari berbagai
konsep teori, karakteristik dari pemimpin yang otentik adalah:
1. Self-aware dan tulus
Pemimpin-pemimpin yang otentik adalah individu yang
mengaktualisasikan dirinya dengan memiliki self-awareness (kesadaran
diri). Mereka mengetahui kekuatan dan kelemahan pada diri mereka sendiri dan
emosi mereka. mereka juga tidak berperilaku berbeda di berbagai kondisi, dengan
kata lain mereka menjadi diri mereka di hadapan para pengikutnya. Mereka juga
tidak takut untuk terlihat lemah dengan mengakui kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukan dan kegagalan yang pernah mereka lalui.
2. Mission driven dan fokus pada hasil
Mereka mampu menempatkan misi-misi untuk mencapai
tujuan orang banyak atau organisasi di atas tujuan pribadi. Mereka melakukan
pekerjaan mereka untuk mencapai hasil bukan untuk kekuasaan, ego dan keinginan
materi pribadi.
3. Memimpin dengan hati, tidak hanya dengan pikiran
Mereka tidak takut untuk menunjukkan emosi-emosi yang
mereka miliki, kerentanan mereka terhadap karyawan. Namun bukan berarti mereka
“lembek”, akan tetapi dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakan dengan tata
cara yang tepat beserta empati.
4. Fokus pada jangka panjang
Mereka fokus untuk hasil jangka panjang, bersedia
untuk membimbing setiap orang dan memelihara organisasi dengan sabar dan kerja
keras karena mereka yakin dengan hasil yang akan bertahan untuk jangka waktu
yang lama.
Kajian Mengenai
Konstruk Teroritis dan Pengukuran Kepemimpinan Otentik
Kajian mengenai konstruk teoritis
dan pengukuran kepemimpinan otentik antara lain dilakukan oleh Walumbwa,
Avolio, Gardner, Wernsing & Peterson (2008) yang melakukan penelitian
dengan partisipan sebanyak 224 orang di Amerika dan 212 orang di Cina. Definisi
operasional tentang kepemimpinan otentik yang dikaji, yaitu pola perilaku
pemimpin yang mengacu pada kapasitas psikologis positif dan mempromosikan iklim
etika yang positif melalui kesadaran diri yang mendalam, perspektif moral yang
diinternalisasikan, pengolahan informasi yang seimbang, dan relasi yang
transparan antara pemimpin dan pengikut untuk mendorong pengembangan diri yang
positif. Alat ukur yang disebut Authentic Leadership Scale (ALS) kemudian disusun,
dikembangkan, dan divalidasi.
Hasil analisis faktor yang dilakukan
menunjukkan bahwa kepemimpinan otentik terbagi menjadi empat aspek, yaitu
kesadaran diri pemimpin (self awareness),
relasi yang transparan (relational
transparency), pemrosesan yang seimbang
(balanced processing), dan perspektif
moral yang diinternalisasi (internalized
moral perspective). Kesadaran diri (self
awareness), merupakan persepsi pengikut terhadap pemahaman pemimpinnya
dalam menemukan dan membuat makna dari dunia, dan bagaimana makna tersebut
memberikan dampak pada sudut pandangnya dari waktu ke waktu. Relasi yang
transparan (relational transparency) adalah
persepsi pengikut terhadap perilaku pemimpin yang menampilkan dirinya secara
otentik dalam berinteraksi dengan orang lain, bukan pencitraan diri maupun
pendistorsian diri. Pemimpin dianggap memiliki rasa percaya (trust) kepada orang lain, terbuka untuk
berbagi informasi, serta mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan secara
otentik ketika mengungkapkan emosi yang menurutnya kurang pantas. Pemrosesan
yang seimbang (balanced processing)
menunjukkan persepsi pengikut terhadap kemampuan pemimpin untuk menganalisis
semua informasi dan data yang relevan secara objektif sebelum mengambil
keputusan. Pemimpin juga dipersepsi bersedia menerima masukan dan kritikan yang
memberi tantangan terhadap posisi yang sedang diemban. Internalisasi perspektif
moral (internalized moral perspective)
mengacu pada persepsi pengikut terhadap internalisasi dan integrasi regulasi
diri pemimpin secara menyeluruh.
Pengambilan keputusan pemimpin dipandu oleh standar nilai moral yang
telah diinternalisasikan, dibandingkan dengan nilai kelompok, organisasi, dan
sosial. Pengambilan keputusan dan perilaku pemimpin dipersepsi pengikut
konsisten dengan nilai-nilai moralnya. Hasil penelitian juga diketahui bahwa
kepemimpinan otentik memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja,
komitmen kerja, perilaku kewargaan organisasi, dan kinerja pegawai. (Walumbwa
dkk, 2008).
Shamir & Eilam (2005) melakukan
kajian tentang pengembangan kepemimpinan otentik melalui refleksi terhadap
perjalanan hidup pemimpin (life story).
Perjalanan hidup seorang pemimpin
mencerminkan tingkat pengetahuan diri, kejelasan konsep diri, kesadaran yang
dialami dan dimaknai pemimpin, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber
informasi bagi pengikut untuk menilai pemimpin yang otentik. Pengembangan
kepemimpinan otentik tersebut memiliki empat komponen. Pertama, pengembangan
identitas pemimpin sebagai komponen utama dari konsep diri individu (Development of a leader identity as a
central component of the person’s self-concept). Kedua, Pengembangan pengetahuan diri dan kejelasan konsep diri, termasuk
kejelasan tentang nilai-nilai dan keyakinan (Development of self-knowledge and self-concept clarity, including
clarity about values and convictions). Ketiga, pengembangan tujuan hidup
yang sesuai dengan konsep diri (Development
of goals that are concordant with the self-concept). Keempat, peningkatan
konsistensi antara perilaku dengan konsep diri pemimpin (Increasing self-expressive behavior, namely consistency between
leader behaviors and the leader’s self-concept).
Peus, Wesche, Streicher, Braun,
& Frey (2012) menambahkan berdasarkan kajian empirik terhadap para pegawai
di Jerman, diketahui bahwa kepemimpinan otentik dipengaruhi oleh self knowledge dan self consistency pemimpin.
Pemimpin yang memiliki pengetahuan tentang dirinya (self knowledge) secara mendalam memiliki kejelasan terhadap
nilai-nilai dan keyakinannya. Hal
tersebut menyebabkan para pemimpin dapat mengembangkan sistem makna untuk
merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak secara otentik. Dengan memahami
nilai-nilai hidup secara menyeluruh, pemimpin otentik dapat bertindak sesuai
dengan nilai yang diyakini, bahkan ketika mendapatkan tekanan sosial atau
situasional. Pengetahuan tentang nilai, keyakinan, serta kekuatan dan kelemahan
diri merupakan prasyarat bagi para pemimpin untuk bertindak sesuai dengan diri,
lebih sejati, dan dengan cara yang juga
dapat dipersepsi otentik oleh para pengikutnya. Keselarasan antara nilai yang
diyakini dengan perilakunya membuat pemimpin menjadi dirinya yang sejati dan
lebih terbuka bagi pengikut. Konsistensi yang tinggi antara nilai yang diyakini
dengan tindakannya (self consistency) merupakan
indikator seorang pemimpin dipersepsi memiliki kepemimpinan yang otentik (Peus
dkk, 2012).
Mengacu temuan Walumbwa dkk (2008),
Baron & Parent (2015) melakukan kajian pengembangan kepemimpinan otentik
dengan melakukan wawancara terhadap 24 manajer (11 perempuan, 13 laki-laki)
yang mengikuti pelatihan kepemimpinan di Kanada. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum pengembangan kepemimpinan otentik memiliki dua fase, yaitu
eksplorasi dan integrasi. Fase eksplorasi terdiri dari tiga tahapan, yaitu mengembangkan
kesadaran diri (developing
self-awareness), mengidentifikasi
perilaku yang memungkinkan dicoba (identifying
possible behaviors to adopt), dan mencoba perilaku baru (trying out new behaviors). Fase integrasi terdiri dari dua
tahapan, yaitu trigger - menyadari manfaat perubahan (recognizing the benefits of change),
dan menerapkannya di tempat kerja
(transferring behaviors and attitudes to the work-place).
Tahap
mengembangkan kesadaran diri dalam fase eksplorasi, peserta difasilitasi untuk
memahami potensi atau kelebihan yang dimiliki dan potensi lain yang ingin
dikembangkan. Kesadaran diri dikembangkan melalui proses menyadari pola tingkah laku selama
ini, menyadari emosi yang dialami, menyadari nilai hidup yang dibutuhkan,
mengambil hikmah dari lalu, memahami sikap dan perilaku orang lain, dan lebih
peka dan peduli terhadap sikap dan perilaku yang berdampak pada orang orang
lain. Pada tahapan identifikasi perilaku,
peserta difasilitasi untuk merumuskan rencana perilaku yang ingin dikembangkan
dan menetapkan tujuan dari perilaku-perilaku tersebut. Sedangkan pada tahapan
mencoba perilaku baru, peserta difasilitasi untuk mengkonsolidasikan proses
pengembangan dalam fase eksplorasi dalam suatu perilaku baru dan diberi
kesempatan untuk mengevaluasi, apakah perilaku tersebut sudah tepat dan
efektif. Selanjutnya pada fase
integrasi, peserta difasilitasi untuk menyadari manfaat perubahan perilaku
seperti lebih menikmati pekerjaan, lebih bahagia, stres menurun, merasakan
kehidupan yang lebih seimbang, lebih terlibat dengan rekan kerja dan staf,
sehingga memungkinkan lingkungan kerja menjadi lebih nyaman. (Baron &
Parent, 2015).
Pinnington
(2011) melakukan kajian empiris tentang efektivitas pengembangan kepemimpinan
dan relevansi lima jenis teori kepemimpinan yaitu kharismatik,
transformasional, pelayanan, spiritual, dan otentik untuk diaplikasikan dalam tiga jenis
organisasi di Skotlandia, yaitu organisasi pemerintah, swasta, dan non profit.
Sebanyak enam metode pengembangan kepemimpinan dikaji, yaitu umpan balik 360°, coaching,
mentoring, networks, job assignment, dan action learning. Tabel 5 menunjukkan
hasil kajian tersebut.
Budiharto
(2019) Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengukuran kepemimpinan otentik di Indonesia dapat dilakukan dengan
mengadaptasi pengukuran kepemimpinan otentik dari skala Authentic Leadership Scale/ALQ yang disusun oleh Walumbwa, dkk
(2008), terdiri dari empat aspek, yaitu self-awareness,
moral perspective, balanced processing, dan relational transparency. Meskipun demikian, diketahui pula bahwa komposisi aitem yang membentuk keempat aspek kurang
seimbang, karena sebagian besar termasuk
dalam faktor self awareness.
Tokoh-Tokoh Authentic Leadership
Menurut Jatmika (2016) beberapa contoh pemimpin
otentik sebagaimana makna otentik (menjadi diri yang sesungguhnya) seperti
Mahatma Gandhi, Oprah Winfrey, Steve Jobs. Tokoh pemimpin di Indonesia yang
mungkin dapat saya sebutkan seperti Ir. Soekarno, Bob Sadino, Gus Dur, dan
Jokowi. Menjadi seorang pemimpin yang otentik tidaklah mudah, mereka sulit
ditemukan, mereka ada tetapi belum memiliki kesempatan, namun bukan berarti
tidak dapat dilakukan, karena kepemimpinan adalah skills. Kepemimpinan
otentik memerlukan ekstra kerja keras untuk terus menyelami dirinya (self-awareness),
keberanian untuk berpegang teguh pada moral dan integritas di kala situasi dan
godaan untuk menjadikan diri menyimpang dari moralitas (moral), menjaga
keseimbangan emosi dan perduli pada kepentingan orang banyak.
Kelebihan Authentic
Leadership
Berdasarkan pemaparan materi
tersebut, kepemimpinan autentik ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Pemimpin
memiliki rasa peka yang tinggi terhadap keadaan orang lain, contohnya adalah
memiliki simpati dan empati
2.
Pemimpin fokus
terhadap hasil dalam kepentingan bersama bukan hanya kepentingan pribadi
3.
Pemimpin bersikap terbuka dan mau berbagi
dengan karyawan atau orang lain, dalam hal ini pemimpin tidak takut menampilkan
emosinya
4.
Memiliki
hubungan yang baik dengan orang lain atau orang yang dipimpinnya, dan ada
timbal balik antara keduanya. Hal tersebut dikarenakan pemimpin mampu membangun
kedekatan dan rasa percaya dari orang lain atau bawahannya
Kelemahan Authentic Leadership
Meskipun pemimpin autentik memiliki berbagai kelebihan, pemimpin
autentik juga memiliki kelemahan, yaitu:
1.
Pemimpin kurang
tegas terhadap karyawannya akibat terlalu dekat dengan mereka
2.
Kedekatan yang
erat antara pemimpin dan karyawan memunculkan sikap orang lain yang semena-mena
terhadap dirinya.
Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu
social, sebab prinsip – prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan
manfaat bagi kesejahteraan manusia (Moejiono, 2002).Kepemimpinan adalah suatu
usaha aktifitas yang berkelanjutan, diarahkan untuk menimbulkan dampak pada
perilaku orang lain, dan pada akhirnya difokuskan pada upaya untuk mewujudkan
tujuan-tujuan organisasi, (Marwansyah dan Mukaram, 2002).
Pendekatan gaya (style approach) menekankan
perilaku pemimpin yang berfokus pada apa yang dilakukan pemimpin dan bagaimana
mereka bertindak. Tujuan utama dari pendekatan gaya adalah untuk menjelaskan
bagaimana pemimpin mengombinasikan dua jenis perilaku ini, untuk memengaruhi
pengikut dalam upaya mereka mencapai tujuan. (Northouse, 2013).
Definisi Kepemimpinan Autentik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), autentik berarti (1) dapat dipercaya, (2) asli atau tulen, dan (3) sah.
Sedangkan kepemimpinan bisa diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu
dan situasi tertentu. Berdasarkan kedua hal tersebut,
maka kepemimpinan autentik secara bahasa bisa diartikan sebagai kemampuan
seseorang yang tidak dibuat-buat / asli untuk mempengaruhi perilaku seseorang
atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu dan situasi tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Avolio,
B. J., & Gardner, W. L. (2005). Authentic leadership development: Getting
to the root of positive forms of leadership. The Leadership Quarterly, 16(3),
315-338.
Avolio, B. J., Gardner, W. L., & Walumbawa, F. O. (2007). Authentic
leadership questionnaire. Diunduh dari http://www.mindgarden.com/69-authentic-leadership-questionnaire.
Azanza,
G., Moriano, J. A., & Molero, F. (2013). Authentic leadership and
organizational culture as drivers of employees' job satisfaction. Journal
of Work and Organizational Psychology, 29(2), 45-50.
Baron,
L., & Parent, É. (2014). Developing Authentic Leadership Within a
Training Context. Journal of Leadership & Organizational Studies, 22(1),
37–53.
Besen, F., Tecchio, E. and Fialho, F. A. P.
(2015). Authentic leadership and knowledge management, Gestao &
Producao., 24(1).
Bishop, William H. (2013). Defining the Authenticity in Authentic
Leadership. The Journal of Values-Based Leadership, 6(1), 1-8.
Budiharto, S. (2019). Pengembangan
kepemimpinan otentik (konseptualisasi, pengukuran, dan implementasi dalam organisasi). Jurnal belum diterbitkan
Cerne,
M., Nerstad, C., Dysvik, A., et al. (2014) What Goes around Comes around:
Knowledge Hiding, Perceived Motivational Climate, and Creativity. Academy of
Management Journal, 57, 172-192.
Chatman, J. A., & Kennedy, J. A. (2010). Psychological perspectives
on leadership. US: Harvard Busness Press.
Clapp-Smith,
R., Vogelgesang, G. R., & Avey, J. B. (2009). Authentic Leadership and
Positive Psychological Capital: The Mediating Role of Trust at the Group Level
of Analysis. Journal of Leadership & Organizational Studies, 15,
227-240.
Cottrill,
K., Denise Lopez, P., & C. Hoffman, C. (2014). How authentic
leadership and inclusion benefit organizations. Equality, Diversity and
Inclusion: An International Journal, 33(3), 275–292.
Fang, H., Gu, Q., Xiong, W., &
Zhou L. (2015). Demystifying the Chinese Housing Boom. NBER Working Paper,
1-72.
Gardner, W. L., Avolio, B. J., Luthans, F., May, D. R. and Walumbwa, F.
(2005). Can you see the real me? A self-based model of authentic leader and
follower development. The Leadership Quarterly, 16(3), 343–372.
Gardner,
W. L., Cogliser, C. C., Davis, K. M., & Dickens, M. P. (2011). Authentic
leadership: A review of the literature and research agenda. The
Leadership Quarterly, 22(6), 1120-1145.
George,
B. (2003). Authentic Leadership: Rediscovering the Secrets to Creating
Lasting Value. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Giallonardo,
L. M., WONG, C. A., & Iwasiw, C. L. (2010). Authentic leadership of
preceptors: predictor of new graduate nurses’ work engagement and job satisfaction.
Journal of Nursing Management, 18(8), 993–1003.
Guerrero,
A. M., Mcallister, R. R. J., & Wilson, K. A. (2014). Achieving
Cross-Scale Collaboration for Large Scale Conservation Initiatives.
Conservation Letters, 8(2), 107–117.
Henderson,
J. E., & Hoy, W. K. (1983). Leader authenticity: The development and test
of an operational measure. Educational & Psychological Research, 3(2),
63-75.
Heppner,
W. L., Kernis, M. H., Nezlek, J. B., Foster, J., Lakey, C. E., & Goldman,
B. M. (2008). Within-Person Relationships Among Daily Self-Esteem, Need
Satisfaction, and Authenticity. Psychological Science, 19(11),
1140–1145.
Ilies,
R., Morgeson, F. P., & Nahrgang, J. D. (2005). Authentic leadership and
eudaemonic well-being: Understanding leader-follower outcomes. The
Leadership Quarterly, 16(3), 373-394.
Impett,
E. A., Javam, L., LE, B. M., Asyabi-Eshghi, B., & Kogan, A.
(2013). The joys of genuine giving: Approach and avoidance sacrifice
motivation and authenticity. Personal Relationships, 20(4), 740–754.
Jatmika, D. (2016). Kepemimpinan Otentik. Jurnal Buletin Konsorsium
Psikologi Ilmiah Nusantara, 2(24).
Jensen, S. M., & Luthans, F.
(2006). Entrepreneurs as authentic leaders: impact on employees’
attitudes. Leadership & Organization Development Journal, 27(8),
646–666.
Kauppi, K., Moxham, C., & Bamford, D. (2013). Should we try out for the major leagues?A call for research in sport
operations management. International Journal of Operations and Production
Management, 33(10), 1368-1399.
Kifer,
Y., Heller, D., Perunovic, W. Q. E., & Galinsky, A. D. (2013). The
Good Life of the Powerful. Psychological Science, 24(3), 280–288.
Klenke, K. 2007. Authentic
Leadership: A Self, Leader, and Spiritual Identity Perspective. International
Journal of Leadership Studies, 3 (1): 68-97.
Kruse, K. (2013). What is authentic leadership?. Diunduh dari http://www.forbes.com/sites/kevinkruse/2013/05/12/what-is-authentic-leadership/#197b2f012ddd
Le, B.
M., & Impett, E. A. (2013). When Holding Back Helps. Psychological
Science, 24(9), 1809–1815.
Lenton, A. P., Bruder, M., Slabu, L., & Sedikides, C.
(2013). How Does “Being Real” Feel? The Experience of State Authenticity. Journal
of Personality, 81(3), 276–289.
Leroy,
B., Petillon, J., Gallon, R., Canard, A., & Ysnel, F.
(2011). Improving occurrence-based rarity metrics in conservation studies
by including multiple rarity cut-off points. Insect Conservation and
Diversity, 5(2), 159–168.
Luthans,
F. and Avolio, B.J. (2003) Authentic Leadership: A Positive Developmental
Approach. In: Cameron, K.S., Dutton, J.E. and Quinn, R.E., Eds., Positive
Organizational Scholarship, Barrett-Koehler San Francisco, 241-261.
Marwansyah dan Mukaram (2000), Manajemen
Sumber Daya Manusia, Bandung, Politeknik Bandung Press.
Moejiono,Imam.
2002. Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta:UII Press.
Monzani,
B., Rijsdijk, F., Harris, J., & Mataix-Cols, D. (2014). The Structure
of Genetic and Environmental Risk Factors for Dimensional Representations of
DSM-5Obsessive-Compulsive Spectrum Disorders. JAMA Psychiatry, 71(2), 182.
Northouse,
P. G. (2013). Leadership: Theory and practice. Thousand Oaks, CA: SAGE
Publications.
Parr,
A. D., & Hunter, S. T. (2013). Enhancing work outcomes of employees
with autism spectrum disorder through leadership: Leadership for employees with
autism spectrum disorder. Autism, 18(5), 545–554.
Peterson,
S. J., & Luthans, F. (2003). The positive impact and development of
hopeful leaders. Leadership & Organization Development Journal,
24(1), 26–31.
Peter G. Northouse. 2013. Kepemimpinan:
Teori dan Praktik Jakarta Barat: Indeks.
Peter,
B. M., & Slatkin, M. (2013). DETECTING RANGE EXPANSIONS FROM GENETIC
DATA. Evolution, 67(11), 3274–3289.
Peus,
C., Braun, S., & Frey, D. (2012). Despite leaders’ good intentions? The
role of follower attributions in adverse leadership–A multilevel model. Zeitschrift
für Psychologie, 220(4), 241-250.
Pinnington,
A. H. (2011). Leadership development: Applying the same leadership
theories and development practices to different contexts?. Leadership, 7(3),
335–365.
Riggio, R. E. (2014). What is authentic leadership? Do you have it?.
Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/blog/cutting-edge-leadership/201401/what-is-authentic-leadership-do-you-have-it
Seco, V., & Pereira
Lopes, (2013). Professionals calling in lifelong learning centers. Journal
of Industrial Engineering and Management, 6(2), 668-685.
Seeman,
M. (1966). Status and Identity: The Problem of Inauthenticity.
The Pacific Sociological Review, 9(2), 67–73.
Shapira-Lishchinsky,
O., & Tsemach, S. (2014). Psychological Empowerment as a Mediator
Between Teachers’ Perceptions of Authentic Leadership and Their Withdrawal and
Citizenship Behaviors. Educational Administration Quarterly, 50(4),
675–712.
Shamir,
B., & Eilam, G. (2005). “What’s Your Story?” to Life-Stories Approach to
Authentic Leadership Development. The Leadership Quarterly, 16, 395-417.
Stewart
Wherry, H. M. (2012). Authentic leadership, leader-member exchange, and
organizational citizenship behavior: A multilevel analysis. Doctoral
dissertation, University of Nebraska-Lincoln, Lincoln, NE.
Valsania,
M. C., Fasano, F., Richardson, S. D., & Vincenti, M.
(2012). Investigation of the degradation of cresols in the treatments with
ozone. Water Research, 46(8), 2795–2804.
Veithzal,
Rivai Sagala, &Juavani. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk
Perusahaan Dari Teori Ke Praktik. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Wang,
Y. and Hsieh, H. (2013) Organizational Ethical Climate, Perceived
Organizational Support, and Employee Silence: A Cross-Level Investigation. Human
Relations, 66, 783-802.
Walumbwa,
F. O., Avolio, B. J., Gardner, W. L., Wernsing, T. S., & Peterson, S. J.
(2007). Authentic Leadership: Development and Validation of a Theory-Based
Measure†. Journal of Management, 34(1), 89–126.
Walumbwa,
F. O., Wang, P., Wang, H., Schaubroeck, J., & Avolio, B. J. (2010).
Psychological processes linking authentic leadership to follower
behaviors. The Leadership Quarterly, 21(5),
901-914.
Walumbwa,
F. O., & Hartnell, C. A. (2011). Understanding transformational
leadership-employee performance links: The role of relational identification
and self-efficacy. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 84(1),
153–172.
Wong,
C. A., & Cummings, G. G. (2009). The influence of authentic leadership
behaviors on trust and work outcomes of health care staff. Journal of
Leadership Studies, 3(2), 6–23.
Wong,
C. A., & Laschinger, H. K. S. (2012). Authentic leadership,
performance, and job satisfaction: the mediating role of empowerment.
Journal of Advanced Nursing, 69(4), 947–959.
Xiong,
H.-B., & Fang, P. (2014). Authentic Leadership, Collective Efficacy,
and Group Performance: An Empirical Study in China. Social Behavior and
Personality: An International Journal, 42(6), 921–932.
Yukl, G. (2015). Kepemimpinan
Dalam Organisasi. Edisi ketujuh. Jakarta: PT. Indeks
Komentar
Posting Komentar